Sejauh ini, masyarakat kita dan para Pest Control Operator (PCO) sangatlah ketergantungan terhadap rodentisida, terutama rodentisida sintetik untuk mengendalikan tikus di lingkungan… Baik di pertanian, perkebunan, dan permukiman. Sebut saja berbagai merk yang dijual bebas, sampai yang dijual dengan pesanan (by order), seperti D**a, *al*n, Ra**m**, N*r*t (titipan mas Tatang Deddy Kurniawan) de es te… Mulai rodentisida kronis sampai yang akut. Semuanya digunakan sebagai senjata pamungkas untuk mengendalikan tikus-tikus yang mengganggu dan merusak di area kita. Banyak juga rodentisida nabati (biopestisida) yang cukup ampuh untuk mengendalikan tikus, seperti bawang putih (Allium sativum), buah picung/keluwek (Pangium edule), buah bintaro (Cerbera mangas), sampai umbi gadung (Dioscorea hispida). Tetapi umumnya cukup sulit dan menyulitkan kita untuk menggunakan biopestisida tersebut (karena kita inginnya simple dan mudah.. hehehe). Sejatinya, sebagai alternative utama… Saat ini kita dituntut untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar kita, terutama dalam pengendalian hama tikus yang menjadi musuh utama. Pemanfaatan biopestisida seperti contoh-contoh di atas sangatlah menarik dan membantu agar lingkungan tidak lebih cepat tercemar oleh rodentisida sintetik.

Okey… setelah kita mengetahui sekilas tentang rodentisida, selaku praktisi pengendali hama permukiman, tentu saja saya lebih senang mengulas rodentisida sintetik yang banyak digunakan oleh sahabat-sahabat Pest Controller di Indonesia. Mayoritas kita sebagai praktisi hanya mengenal satu sampai tiga jenis bahan aktif yang beredar di pasaran Indonesia, yaitu coumatetralyl (anticoagulant generasi 1), broadifacoum, dan bromadiolone (antikoagulan generasi 2)… variasi ketiga bahan aktif ini bervariasi dengan rerata di 0,005% – 0,0375%. Coumatetralyl tidak sebanyak penggunaannya sejak diperkirakan terjadi resistensi tikus dan ditemukannya antikoagulan generasi II. Dengan dosis tunggal yang tinggi tidak mematikan tikus, tetapi dengan dosis berganda yang relative rendah lebih efektif dalam menekan populasi tikus. Dosis 1 ppm per hari selama 5 hari dapat mematikan 85% populasi tikus. Tikus riul (got) lebih rentan terhadap bahan aktif ini dibandingkan dengan tikus rumah atau mencit rumah. Sedangkan rival beratnya, broadifacoum dan bromadiolone, merupakan rodentisida yang berpotensi baik dalam mengendalikan tikus karena dapat diterima tikus dengan baik, dan juga dapat diaplikasikan dalam berbagai kondisi lingkungan yang berbeda. Konsentrasi penggunaan adalah 0,005% dalam bentuk umpan pelet dan blok. Kematian tikus dapat mencapai 100% hanya dengan 1 (satu) hari pemberian, yang disebut dengan single dose rodenticide. Efektif juga untuk mengendalikan populasi tikus yang sudah resisten terhadap rodentisida generasi I. Biasanya setelah mengkonsumsi rodentisida sintetik tersebut, tikus akan mengalamai mortalitas (kematian) dalam kurun waktu 3-9 hari, bahkan dapat mencapai 11 hari, tergantung jenis dan daya tahan tubuh sang tikus.

Umumnya, kitapun hanya tahu jika setelah tikus mengkonsumsi rodentisida, maka selanjutnya mereka akan berdarah-darah dari setiap sudut pembuluh darah. Mulai dari mata, telinga, mulut, dan anus. Tetapi, apakah kita mengetahui mekanisme terjadinya perdarahan yang dialami tikus setelah mengkonsumsi rodentisida ? Cukup dua pemahaman saja mengapa tikus sampai mengalami perdarahan, yaitu ;
1. Anticoagulan adalah salah satu senyawa pengencer darah, Proses pembekuan darah berperan penting untuk menghentikan perdarahan jika terjadi luka.sebagai contoh broadifacoum. seperti racun antikoagulan lainnya, broadifacoum bekerja dengan mengganggu sintesis normal faktor pembekuan vitamin K, yang sangat penting pada sintesis prothrombin dan faktor pembekuan darah lainnya. Brodifakum meng-antagonisasi enzim vitamin K1-epoxide reductase pada hepar dan menyebabkan penurunan secara bertahap dari bentuk aktif vitamin K, dan pada akhirnya tidak terjadi pembekuan darah sama sekali.
2. Antikoagulan dalam dosis toksik meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dengan kecepatan relative tinggi pergerakan keeping darah di dalam pembuluh darah, sehingga plasma darah dan darah mulai keluar dari pembuluh darah kecil jika terjadi benturan dan gesekan dari keeping-keping darah yang mengalir. Hewan yang keracunan akan mengalami pendarahan internal yang semakin lama semakin parah dan dapat mengakibatkan shock, kehilangan kesadaran dan pada akhirnya kematian. Kematian dapat juga terjadi secara tiba-tiba tergantung dimana pendarahan tersebut terjadi, terutama apabila pendarahan terjadi pada bagian otak maupun pada bagian jantung.

Tetapi jangan hepi dulu dengan ulasan diatas, jika diurut dari bau akibat kematian yang diderita tikus setelah mengkonsumsi ketiga jenis rodentisida tersebut, berturut-turut dari yang paling bau adalah coumatetralyl, broadifacoum, dan barulah bromadiolone. Coumatetralyl dan broadifacoum membuat tikus lebih senang mencari tempat yang gelap untuk menyambut kematiannya… Sedangkan bahan aktif bromadiolone menyebabkan tikus akan mencari cahaya didetik-detik sakratul mautnya. Lalu pilihlah umpan yang berbetuk sudut (kubus, balok, dll), karena prilaku tikus lebih menyukai pakan mereka yang bersudut. Dan jangan sesekali membandingkan umpan siap pakai yang digunakan dengan beras, karena mayoritas tikus, sangat menyukai beras sebagai pakan utamanya. Kelompok pakan serelalia sangatlah disukai oleh kaum tikus… Beras, gabah, jagung, dan seterusnya, adalah makanan kesukaan mereka.

Satu lagi pertanyaan yang menggelitik sanubari… Apakah sistem baiting dengan menggunakan rodentisida sintetik dalam 1 wadah umpan harus diberi perlaukan 4 block ??? Sejak saya mengenal dunia pest control 21 tahun yang lalu, seakan teori sudah menjadi fatwa dikalangan pest controller di Indonesia. Ratusan jurnal dan literasi tentang rodentisida yang saya pelajari, tidak ada yang menyebutkan atau mensahihkan teori di atas. Lalu, apa donk yang bakunya dari system perlakuan diatas bro and sis..?

Ternyata setelah saya pelajari, 1 block rodentisida konsentrasi 0,005% dengan berat 4 gr, dapat mematikan 1 ekor tikus dengan berat badan (bb) 100 gr. Perhitungannya ; (4.000 mg x 0,005%) : 0,1 kg = 2 ppm. Jadi asumsi jika kita meletakkan 4 block rodentsisda dengan berat 4 gr, dapat berefek mematikan 4 ekor tikus bb 100 gr, atau 2 ekor tikus bb 200 gr, atau 1 ekor tikus bb 400 kg. Monggo bisa sahabat-sahabat prediksikan dan kalkulasikan sendiri kebutuhannya untuk pengendalian di area luar ataupun di area dalam bangunan.

Lalu ada pertanyaan Kembali, kalau begitu… satu wadah umpan dapat saya tempatkan saja 10 block atau 15 block rodentisida untuk memudahkan tikus memakannya. Jawabannya NOOO… kenapa ? karena lebih baik meletakkan jumlah umpan sedikit pada banyak titik daripada jumlah umpan banyak pada sedikit titik umpan. Sejumlah 50 gr pada 100 titik lebih baik dari 500 gr untuk 10 titik umpan… jumlahnya sama, 5.000 gr atau 5 kg.

Diskusi selanjutnya adalah, jika kita menggunakan rodentisida,.. Pets atau hewan kesayangan kita akan mati jika mengkonsumsi racun tersebut ? Terkadang pertanyaan-pertanyaan kualitatif tersebut terjawab dengan jawaban-jawaban kualitatif juga, yaitu only opini di masyarakat luas. Tidak dengan suatu parameter uji atau kuantitatif secara gradual.
Saya dapat menyimpulkan jika ;
1. Mamalia selain tikus, biasanya tidak menyukai rodentisida tersebut… karena formulator atau produsen sudah menyisipkan zat pemahit dipercampurannya, salah satunya zat phenyl tiocarbamaid. Sehingga mamalia yang dengan sengaja memakannya, pasti akan dimuntahkan Kembali karena rasa pahit tersebut. Sebagai catatan, tikus adalah salah satu mamalia yang tidak dapat mengecap rasa pahit makanan yang dimakannya.
2. Lethal dosis untuk tikus adalah 0,005% – 0,0375% (tergantung merk dagang dari produsennya), dan minimal harus mengkonsumsi 2 ppm untuk mematikan 100 gr berat badan tikus. So, jika kucing kesayangan kita berbobot 5 kg.. maka jika ingin mati sebelum waktunya, si kucing harus memakan rodentisida sebanyak 200 block berat 4 gr, atau setara 0,8 kg. Mungkinkah terjadi ?
Semua saya kembalikan ke sahabat-sahabat Pest Controller untuk lebih bijaksananya dalam memilih pola pengendalian di lingkungan. Tetap menggunakan rodentisida sintetik sebagai senjata utamanya, memakai biopestisida sebagai alternatifnya, atau melakukan penghalang fisik (mekanis) agar para tikus tidak nyaman di lingkungan kita, adalah cara paling bijaksana dalam mengendalikan mereka.

Wallahu a’lam bisshawab
Salam,
ADP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *